Nama
: Trias Sabila Rahmah
NIM
: 19310410036
Mata
Kuliah : Psikologi Kepribadian II
Dosen
Pengampu : FX. Wahyu Widiantoro, S. Psi., M.A.
Hans J Eysenck lahir di Berlin, Jerman pada 4 Maret 1916 sebagai anak tunggal dari Ruth Werner dan anton Eduard Eysenck. Eysenck adalah seorang psikolog terkenal yang menggunakan pendekatan behaviorisme dalam melihat kepribadian manusia, dimana Sebagian besar teroinya didasarkan pada fisiologi dan genetika. Ia berpendapat bahwa kepribadian disebabkan oleh faktor keturunan atau genetika.
Eysenck berpendapat dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Namun dia juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan. Menurutnya kepribadian adalah keseluruhan pola tingkahlaku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkahlaku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkahlaku; sektor kognitif (intelligence), sektor konatif (character), sektor afektif (temperament), sektor somatik (constitution) (Alwisol, 2010).
Eysenk mengkritik teori psikoanalisis karena menganggap pengukurannya kurang akurat untuk konsep psikologis, sehingga ia mencoba melakukan pengukuran perbedaan individu ysng lebih akurat. Ia menggunakan teknik statistik yang disebut analisi faktor, dimana responden diberikan daftar berisi sifat-sifat manusia untuk mereka pilih sesuai kepribadian mereka. Eysenck, berargumen bahwa kecanggihan psikometri saja tidak cukup untuk mengukur struktur kepribadian manusia dan dimensi kepribadian yang di dapatkan dari metode analisis faktor yang bersifat steril dan tidak bermakna, kecuali jika sudah terbukti mempunyai suatu eksistensi biologis.
DIMENSI KEPRIBADIAN HANS J EYSENCK
1. Ekstraversi
Konsep yang dimiliki Eyenck mengenai ekstraversi dan introversi lebih dekat dengan penggunaan populer dari kedua istilah ini. Orang-orang ekstroversi mempunyai karakteristik utama, yaitu kemampuan bersosialisasi dan sifat impulsive, senang bercanda, penuh gairah, cepat dalam berpikir, optimis, serta sifat-sifat lain yang mengindikasikan orang-orang yang menghargai hubungan mereka dengan orang lain (Feist &Feist, 2010).
Orang-orang introver mempunyai karakteristik sifat-sifat yang berkebalikan dari mereka yang ekstrover. Mereka dapat dideskripsikan sebagai pendiam, pasif, tidak terlalu bersosialisasi, hati-hati, tertutup, penuh perhatian, pesimistis, damai, tenang, dan terkontrol. Akan tetapi menurut Eysenck, perbedaan paling mendasar antara ekstraversi dan introversi bukan terletak pada perilaku, melainkan pada sifat dasar biologis dan genetiknya.
2. Neurotisme
Superfaktor yang kedua yang diekstrak oleh Eysenck adalah neurotisme/stabilitas (N). Seperti ekstraversi/introversi, factor N mempunyai komponen hereditas yang kuat. Eysenck (dalam Feist & Feist, 2010) menyatakan bahwa beberapa penelitian telah menemukan bukti dari dasar genetic untuk sifat neurotic, seperti kecemasan, hysteria, dan gangguan obsesif-kompulsif. Selain itu, ia fraternal dalam jumlah perilaku antisocial dan asocial, seperti kriminalitas di usia dewasa, gangguan prilaku dimasa kanak-kanak, homoseksualitas, dan alkoholik.
Orang-orang yang mempunyai skor tinggi dalam neurotisme mempunyai kecendrungan untuk bereaksi berlebihan secara emosional, dan mempunyai kesulitan untuk kembali ke kondisi normal setelah terstimuli secara emosional. Mereka sering mengeluhkan gejala-gejala fisik, seperti sakit kepala dan sakit punggung, serta mempunyai masalah psikologis yang kabur, seperti kekhawatiran dan kecemasan.
3. Psikotisme
Seperti ekstraversi dan neurotisme, P adalah factor yang bersifat biporal, dengan psikotik dalam satu kutub dan superego dalam kutub yang lainnya. Orang yang skor P tinggi biasanya egosentris, dingin, tidak mudah menyesuaikan diri, impulsive, kejam, agresif, curiga, psikopatik, dan antisocial. Orang yang skor P rendah (mengarah pada fungsi superego) cenderung bersifat altruis, mudah bersosialisasi, empati, peduli, kooperatif, mudah menyesuaikan diri, dan konvensional.
Eysenck memiliki hipotesis bahwa orang-orang yang memiliki skor psikotik yang tinggi mempunyai predisposisi untuk menyerah pada stress dan mempunyai penyakit psikotik yang tinggi. Model diatesis-stres ini mengindikasikan bahwa orang-orang yang mempunyai skor P yang tinggi, secara genetis lebih rentan terhadap stress dari pada yang mempunyai skor P yang rendah. Pada periode stres yang rendah, orang dengan skor P tinggi masih dapat berfungsi dengan normal, tetapi pada saat tingkat psikotik yang tinggi berinteraksi dengan kadar stress yang juga tinggi, orang tersebut menjadi lebih rentan terhadap gangguan psikotik, begitu pula sebaliknya.
Referensi :
Feist, J & Feist, G.J. 2010. Teori Keperibadian Theories of Personality. Jakarta: Salemba Humanika
Alwisol. 2010. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Komentar
Posting Komentar